Analisis: Ulil Abshar, ‘Khalifah Non Politik Harus Tetap Hidup’

Anom Tulus Ml
3 min readFeb 4, 2021
warta-ahmadiyah

Ulil Abshar Abdalla adalah keluarga besar Nahdlatul Ulama, mantu dari Kyai Besar Mustofa Bisri. Seorang doktoral Universitas Boston, Amerika Serikat. Kini dia telah berada di dunia politik praktis.

Konsep Khalifah Ahmadiyah telah berkali-kali dibedah, diantaranya bedah buku Khilafah Ahmadiyah dan Nation State di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Khalifah seperti apa sebenarnya yang ditawarkan Ahmadiyah? yaitu, “Tujuannya [Allah memberikan khalifah] dalam ayat itu [ada] dua: pertama, memberikan keteguhan dalam beragama Islam dan kedua, memberikan keamanan dalam menghadapi berbagai ancaman yang menimbulkan ketakutan,” sesuai janji Allah dalam Qs. An-Nur: 55.

Dalam pandangan Gus Ulil ide khalifah Ahmadiyah sesuatu yang berbeda dari konsep khilafat yang sendang diusung saat ini.

Bagi Gus Ulil khilafah yang bersifat non-politik semestinya harus tetap hidup, sedangkan gerakan dengan ideologi khilafah politik sudahlah mati tahun 1923 walaupun pernah berusaha dihidupkan kembali termasuk di Indonesia oleh HTI yang sekarang sudah dibubarkan pemerintah.

“Namun khilafah ruhiyyah atau khilafah spiritual ini tidak pernah mati, selain di Ahmadiyah, ide khilafah [spiritual] ini masih bertahan di kalangan orang-orang sunni,” ujar Gus Ulil.

Saat menghadiri launching dan bedah buku “Khilafah Ahmadiyah dan Nation State” di Institute of Southeast Asian Islam — ISAIs UIN Sunan Kalijaga. Gus Ulil secara terang-terangan mengemukakan, “Ahmadiyah memiliki Khilafah yang tidak berpolitik, oleh karena itu mereka banyak diterima diberbagai negara. Oleh karena itu kontribusi Ahmadiyah bagi Islam tidak main-main”

Khalifah Ahmadiyah Kingdom of heart

Mungkin sebagian orang menjadi bingung bagaimana bisa membagi ketaatan bagi para Ahmadiyyin antara taat kepada khalifah dan taat kepada pemerintah? Ulil Abshar Abdalla saat diundang dalam kegiatan Ahmadiyah pada tahun 2005 memberikan pandangannya :

‘Khilafah spiritual berbeda sama sekali. Anggota Ahmadiyah bisa tinggal di mana saja, dan tunduk kepada pemerintahan negeri-negeri di mana mereka tinggal. Tetapi, hati dan rohani mereka tunduk kepada kekuasaan spiritual, yaitu khalifah tunggal yang sekarang tinggal di London. Khilafah spiritual tak membutuhkan teritori. Yang dibutuhkan adalah hati yang mau tunduk dan taat kepada sebuah otoritas.

Khilafah politik berkuasa di tanah. Sementara khilafah spiritual berkuasa atas hati dan pikiran. Menciptakan khilafah spiritual tak mengandung resiko yang berat, karena tak ada keharusan untuk merebut kekuasaan politik yang berdarah-darah. Perjuangan khilafah spiritual bukan merebut kekuasaan duniawi, tetapi simpati hati dan pikiran publik. Khilafah Ahmadiyah adalah sejenis “Kingdom of heart“, sementara khilafah politik ala HT adalah “Kingdom of the body“.

Jelas julukan Kingdom of heart yang diberikan Gus Ulil terhadap Khalifah Ahmadiyah adalah sebuah kebenaran.

Khalifah Ahmadiyah Tunduk Kepada Pemerintah

Di dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Jemaat Ahmadiyah Indonesia disebutkan berkenaan dengan pemerintah, ‘Djemaat Ahmadiyah Indonesia berdasarkan atas pelajaran Ahmadiyah tunduk pada Undang-undang Negara.’

Ditegaskan dalam Anggaran Dasar Serikat-serikat bahwa Jemaat Ahmadiyah berasaskan Pancasila dan mengamalkannya juga Undang-undang Dasar 1945. Bahkan, bertujuan memelihara persatuan dan kesatuan Bangsa.

Khalifah Ahmadiyah secara tegas menolak segala bentuk ajakan pemberontak, seperti ketegasannya berikut :

“Kami tidak pernah akan membantu orang-orang yang menekankan untuk merusak undang-undang. Sebagian kelompok ada yang demikian, yaitu yang diajarkan untuk memberontak. Sebagian ditekankan untuk [melakukan] pembunuhan dan kerusuhan.

Sebagian menganggap tidak perlu menaati undang-undang. Dalam semua perkara itu kami tidak akan dapat membantu suatu golongan manapun, karena ini merupakan perkara yang bertentangan dengan ajaran agama kami. Dan taat kepada agama merupakan keharusan, meskipun seluruh pemerintahan memusuhi kami, dan ketika melihat orang Ahmadi mereka mulai memancangnya di salib, tetap saja keputusan kami ini tidak bisa berubah.

Bahwa jangan pernah merusak hukum syariat dan hukum negara. Jika karena hal itu kami dianiaya dengan cara yang paling keras sekalipun, tetaplah, tidak boleh kita berjalan menentangnya.” (Al-Fazl, 6 Agustus 1935, jilid 23, nomor 31, halaman 10, kolom 3)

Begitu dahsyatnya pernyataan di atas cukup menyakinkan bahwa Khalifah Ahmadiyah akan terus berdiri tanpa ada negara yang terzolimi. Seperti katakeyakinan dari Gus Ulil berikut :

‘Anda tak akan pernah melihat anggota Ahmadiyah yang berjuang untuk pelaksanaan syariat Islam, baik di dunia Islam sendiri, atau –apalagi– di Barat. Sebab hukum yang berlaku buat anggota Ahmadiyah adalah hukum nasional di negeri bersangkutan.’

Dengan ini Khalifah Ahmadiyah membawa Islam yang damai dalam konsep khilafah spritual. Silahkan mengkaji lagi dari link http://ahmadiyah.id/search

--

--

Anom Tulus Ml
0 Followers

Santri dari Kampus Mubarak hingga guru ngaji di Kalimantan